Benarkah Anda Mencintai Rasul?
Mengikuti Pengajian Syeikh Abdul Qadir al-Jilany 9 Jumadil Akhir 545 H, di Madrasahnya.
Hadits Nabi saw :
"Ada seseorang yang datang ke beliau dan berkata, "Sungguh aku sangat mencintaimu dalam Allah Azza wa-Jalla," kemudian Nabi Saw bersabda, "Pakailah penutup bencana dan pakailah penutup kefakiran."
Maknanya, karena engkau hendak memakai sifatku, maka berselaraslah dengan sifatku. Karena syarat dari cinta adalah keselarasan.; Abu Bakr Shiddiq ra, misalnya, ketika menyatakan cintanya kepada Rasulullah saw, ia nafkahkan seluruh hartanya, dan berselaras dengan sifat Nabi saw, menemani dalam kefakiran, percintaan yang penuh dengan beban derita. Ia berselaras lahir dan batin, hakikat maupun syariat.
Sedangkan kalian wahai pendusta, mengaku mencintai orang-orang saleh, sementara engkau simpan dinar-dinarmu dan dirhammu, sedangkan engkau ingin dekat dengan mereka dan berguru dengan mereka.
Yang cerdaslah. Sebab yang demikian adalah percintaan dusta. Sang pecinta tak pernah menyembunyikan miliknya dari yang dicinta, dan memprioritaskan kekasihnya dari segala yang ada, dimana kefakiran senantiasa menempel pada diri Nabi saw. Hingga beliau bersabda:
"Kefakiran lebih cepat pada orang yang mencintaiku dibanding mengalirnya air ke muaranya." (Al-Hindy: Kanzul Umal)
Aisyah ra, mengatakan, "Sepanjang hidup bersama Rasul SAW, dunia sepertinya tidak memihak pada kami. Ketika beliau wafat, dunia serasa tumpah. Maka syarat mencintai Rasul adalah kefakiran dan syarat mencintai Allah adalah cobaan."
Diantara para Sufi berkata, "Cobaan diserahkan kepada para kedekatan dengan Allah, agar tidak seseorang tidak mengklaim cintanya Allah Ta'ala, sementara dusta, munafiq dan riya'nya ada dalam dirinya. "
Karena itu kembalilah dari pengakuan dan dustamu. Jangan khawatir dengan kepala anda, jika anda datang, maka anda benar. Jika tidak demikian, jangan ikuti kami. Jangan kau banggakan hartamu, karena bukan itu yang diterima Allah, bahkan justru akan menghinakan dirimu. Jangan bermain dengan ular dan binatang buas, ia akan memangsamu. Jika kalian pawang ular silakan datang pada ular, jika anda kuat, silakan berhadapan dengan binatang buas. Jalan menuju Allah Azza wa-Jalla itu butuh kejujuran dan cahaya ma'rifat. Dan dengan cahaya itu akan muncul di hati para Shiddiqun, yang tak pernah surup oleh siang dan malam.
Anak-anak sekalian, berpalinglah dari orang munafiq yang kontra terhadap amarah Allah Ta'ala. Jadilah orang cerdas. Jangan terlalu dekat dengan orang-orang zaman ini yang bisa memangsa anda, dengan gaya dan tutup baju berbeda. Lihatlah dengan cermin renungan di dalamnya, dan mohonlah kepada Allah Ta'ala agar memperlihatkan padamu dan mereka. Aku telah diberi informasi mengenai makhluk dan Khaliq, namun saya jumpai keburukan justru pada makhluk dan kebajikan ada di sisi Khaliq.
Oh, Allah, selamatkan kami dari keburukan makhluk, berilah kami rizki dari kebajikanmu, dunia dan akhirat, sungguh aku mengharapkan dirimu bukan untuk diriku, tetapi demi dirimu, dalam bebanmu itulah aku ingin bebaskan. Aku tidak mengambil sesuatu darimu kecuali itu untuk dirimu sendiri, bukan untukku. Bagiku sudah dikhususkan, tidak butuh dari apa yang saya ambil darimu. Bagiku tak ada lain kecuali bekerja atau pasrah pada Allah. Aku sama sekali tidak menunggu apa yang kalian datangkan padaku, sebagaimana orang-orang munafiq yang penuh riya' yang merasa telah pasrah tetapi alpa kepada Allah Azza waJalla. Akulah pendebat ahli dunia, karenanya kalian harus lebih cerdas.
Jangan sesekali membanggakan sesuatu di hadapanku, karena aku tahu mana kebaikan dan keburukanmu - atas pertolongan Allah Azza wa-Jalla dan pemberian keistemewaan padaku -- . Bila anda ingin kebahagiaan jadilah kalian itu pasrah pada tonggak penghalau yang akan aku tancapkan di otakmu, hawa nafsumu, watakmu, syetanmu, musuh-musuhmu, dan balatentaramu yang buruk.
Mohonlah pertolongan kepada Allah Azza wa-Jalla untuk menghadapi semua musuhmu itu. Orang yang ditolong adalah orang bisa sabar menghadapi mereka, sedangkan orang yang hina adalah orang yang menyerahkan pada musuh-musuhnya.
Banyak sekali ancaman, tetapi sumbernya satu. Banyak penyakit sedangkan dokternya satu. Karena itu serahkan penyakit jiwamu kepada dokter, dan jangan curiga apa yang hendak dilakukan oleh dokter padamu, karena dia lebih tahu penyakit yang ada dalam dirimu, obatnya dan cara menyembuhkannya. Serahkan dirimu padanya dan kontra kepadanya, maka anda akan dapatkan kebaikan dunia akhirat.
Kaum sufi senantiasa diam total hatinya, pasrah total jiwanya dan mengalami kedahsyatan universal. Bila sudah sempurna bagi mereka seperti itu dalam waktu yang lama, ia bicara seperti benda-benda padat bicara esok di hari kiamat, tidak bicara kecuali kalau digerakkan untuk bicara olehNya. Tidak mengambil kecuali jika diberi olehNya, tidak meraih keleluasaan kemudahan manakala tidak diberi keleluasaan, hati mereka bersenayawa dengan para Malaikat. Sebagaimana firman Allah:
"Mereka tidak mengingkari Allah Ta'ala atas apa yang diperintahkan kepada mereka dan mereka melakukan apa yang diperintahkan Allah kepada mereka." (At-Tahrim 6)
Bersenyawalah dengan para Malaikat, dan raihlah derajat meningkat dengan mereka melalui ma'rifatullah Ta'ala dan mengetahuiNya. Para Maialakat menjadi pembantu mereka (kaum sufi siddiqun) dan pengikut mereka meraih faidah dari mereka, karena aturan Ilahi melimpah pada hati mereka. Karena hati mereka terjaga dari seluruh ancaman yang hendak menyerang jasad, rumah dan jiwa mereka. Sedangkan hati para Sufi itu tidak pernah tersentuh oleh ancaman apa pun.
Bila anda ingin sampai kepada derajat mereka, hendaknya anda mewujudkan hakikat Islam, lalu meninggal dosa yang tampak dan tersembunyi dalam batin anda, kemudian wara' yang menyembuhkan, lalu zuhud terhadap hal-hal yang dibolehkan di dunia, lantas merasa cukup dengan anugerah dan keutamaan Allah Ta'ala dengan kedekatan padaNya. Jika benar kedekatanmu padaNya, akan tumpahlah anugerahNya padamu. Allah akan membuka pintu-pintu pemberianNya: Pintu Kelembutan, Pintu Rahmat dan Pintu AnugerahNya.
Dunia disempitkan bagimu, kemudian dileluasakan hingga suatu batas tertentu. Inilah individu dari kaum Waliyullah dan Shiddiqun, semata karena pengetahuan Allah atas ketaqwaan mereka, karena mereka tak pernah disibukkan selain Dia.
Sedangkan orang yang kalah, dunia ada digenggamannya karena mereka lebih suka santai dan beres, mereka masuki wilayah duniawi, mereka mencarinya, ketika dunia di dapatkan malah mereka sibuk dengan apa yang didpatkan, duduk bersanding dengan dunia, tidak sibuk dengan Allah. Fakta ini menimpa pada umumnya orang.
Sedangkan komunitas sufi tergolong pengecualian, dimana mereka mengikuti aturan Nabi saw, manakala dunia ada di hadapannya, sama sekali tidak menggeser baktinya kepadaNya, sama sekali tidak menoleh pada pemberianNya, karena mereka telah sempurna zuhudnya, sehingga mereka tidak menoleh pada kekayaan duniawi di muka bumi.
Beliau Nabi SAW bersabda:
"Oh Tuhan, hidupkan diriku miskin, matikan diriku miskin, dan gabungkan diriku dengan kaum miskin." (Hr Tirimidzi)
Ia pun tahu bahwa pemberianNya tak akan pernah putus, karena itu ia tak pernah berambisi mencarinya…..
Anak-anak sekalian, kalian butuh iman yang memperjalankan diri anda di Jalan Allah Azza wa-Jalla, dan rasa yaqin yang meneguhkan di jalan itui. Anda butuh pengikat dalam suluk thariqat ini, dan berakhir dengan iman. Beda dengan jalan menuju Makkah, butuh iman dan pengikat tali, sedangkan thariqat ini butuh pengikat tali dan iman, permulaan dan pangkalnya.
Dari Sufyan ats-Tsaury ra, bahwa dalam kisahnya, ketika pertama kali mencari ilmu di perutnya terikat tali sabuk yang didalamnya ada 500 dinar, lalu diinfakkan sebagiannya, ia belajar sementara di tangannya ada sisa dinar, sembari berkata, " kalau bukan karenamu, pasti saya ikat sapu tangan." Ketika ia sudah berhasil meraih pengetahuan dan mengenal Allah Azza wa-Jalla ia menginfakkan semuanya tanpa sisa kepada fakir miskin dalam sehari itu, dan mengatakan, "Jika langit adalah besi, hingga tak pernah hujan, dan bumi adalah sahara yang tak pernah tumbuh pohon, sementara aku masih ingin berharap meraih rejeki, sungguh aku tergolong kafir."
Oleh sebab itu anda tetap ikhtiar bekerja dan bergantung dengan isntrumen kerja, manakala imanmu belum kuat. Lalu pindahlah dari instrument duniawi itu kepada yang menciptakan sebab akibat dunia. Para Nabi saw, pada awal mulanya tekun bekerja, dan bergantung dengan sebab akibat dunia, dan akhirnya tawakkal. Mereka memadukan antara ikhtiar dan tawakkal, sebagai awal dan akhir, syariat dan hakikat.
Wahai orang yang tertutup hatinya, jangan kau celahi ikhtiar dalam tawakkal, terhadap distribusi harta yang ada pada manusia, hingga membuatmu kufur ni'mat pemberian Allah Azza wa-Jalla, dan Dia menjadi marah dan menjauhkan dirimu dariNya. Meninggalkan usaha dan ikhtiar untuk hidup bersama makhluk merupakan siksaan dari Allah Azza wa-Jalla.
Kaum sufi tak butuh kegembiraan atas deritanya, tak butuh meletakkan beban karena yang dipikulnya, tak ada kesejukan mata, atau terentas dari cobaannya hingga mereka bertemu Tuhannya Azza wa-Jalla. Liqo' atau pertemuan ada dua: Pertemuan di dunia dengan hatinya dan rahasia hatinya, dan ini sangat langka. Dan pertemuan kedua di akhirat. Bertemu Allah itulah kegembiraan, kebahagiaan, kesenangan. Kalau sebelum bertemu, segala cobaan.
Anak-anak sekalian…
Cegahlah kesenangan birahi dan kenikmatan-kenikmatan. Makanlah makanan yang suci yang tak bernajis. Yang suci itu pasti halal, dan haram itu najis. Berilah makanan yang halal hingga anda terhindar dari adab buruk di hadapan Allah.
Ya Allah ma'rifatkan kami padaMu hingga kami mengenalMu. Amin
Berbagi Ilmu
Rabu, 23 Agustus 2017
Kecerdasan Hakiki
Kecerdasan Hakiki
Syeikh Ahmad Ar-Rifa'y
Rasulullah SAW bersabda:
"Orang yang cerdas adalah orang yang meneliti dirinya sendiri dan melakukan amaliyah demi zaman sesudah mati. Sedangkan orang yang lemah adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya dan sembari berkhayal atas (anugerah) Allah."
Amaliyah dibalik rahasia hadits di atas adalah amal Ma'rifat. Perlu diketahui Ma'rifat itu dari hamba, sedangkan pelimpahan ma'rifat itu dari Allah Ta'ala, yang merupakan hidayah paling mulia dan paling agung, yang ditunjukkan kepada para hambaNya.
Sesungguhnya Allah Ta'ala manakala ingin memilih hambaNya dan memberikan keistemewaan lebih dibanding yang lainnya, dan hendak menampakkan dalam Sirr hamba, matahari ma'rifat, maka Allah, Allah memandangnya dengan Mata Anugerah dan Kasih Sayang, dan ia dibukakan pintu-pintu hidayah, kemudian dimuliakan dengan kesadaran, dibangunkan dari tidur kealpaan, diberi nikmat dengan anugerah keleluasaan hati, bahkan dihapuskan dari kematian qalbu melalui kefahaman, dihilangkan dari keraguan, dimuliakan dengan rasa malu, rasa takut, rasa yaqin, dan keraguan dimusnahkan, disamping mendapatkan rasa tenteram.
Manakala terakumulasi seluruh perilaku tersebut pada diri hamba, maka ruang qalbunya dipenuhi cahaya yang memancar, maka ia akan melihat apa yang ada dibalik alam Jabarut, dan jilatan-jilatan api termatikan. Seandainya saja kema'rifatan itu terukir pada suatu benda, maka siapa pun yang memandangnya akan mati, karena keindahan dan kebagusannya. Setiap seseorang punya modal harta, sedangkan modal orang beriman adalah ma'rifat.
Ada seseorang bertanya kepada Dzun Nuun al-Mishry ra, :
"Sungguh aku mencintaimu."
"Bila engkau mengenal Allah, maka cukup Allah saja. Bila belum mengenalNya, carilah orang yang mengenalNya hingga orang itu menunjukkan padamu pada Allah," jawab Dzun Nuun
Ma'rifat adalah Pohon Terbagus
Menurut saya ma'rifat itu seperti pohon yang digarap oleh seorang pemilik di kebunnya. Buah-buahnya sangat mahal, dan rimbun cabang tangkainya. Manis sekali buahnya. Subur pula dedaunannya. Tinggi pohonnya, bersih indah tanahnya. Manis airnya, wangi aromanya. Pemiliknya sangat sayang karena kemuliaan kebun itu, disertai rasa gembira karena kesuburannya. Ia selalu jaga dari penyakit-penyakit yang menyerangnya dan menjaga pula dari bencana yang menimpa.
Begitu juga Pohon Ma'rifat yang digarap oleh Allah Ta'ala dalam taman hati hambaNya yang beriman, tentu sangat terjaga oleh kemuliaanNya. Setiap saat akan dikirim awan hujan anugerah dari sumber rahmatNya. Lalu mencurahlah hujan kemuliaan, melalui petir KuasaNya, dan kilatan KehendakNya, agar bersih suci dari debu-debu memandang hasil 'ubudiyahnya. Lalu allah mengirimkan ramutan kelembutan kasih saying dari hijab Pertolongan, agar sempurna kemuliaan kewaliannya, melalui penjagaan dan kewaspadaan.
Seorang yang 'arif (ma'rifat) senantiasa berkeliling dengan rahasia batinnya di bawah pohon ma'rifat itu, mencium aromanya, dan diputus dari penghalang adab, hal-hal yang bisa merusak buah-buah ma'rifat, dari kotoran dan sampah penyakit.
Tiba-tiba begitu panjang Sirr sang air di bawah pohon itu, begitu berlangsung lama perjalanan di sana, lalu terhentak untuk menikmati buahnya. Lalu ia julurkan tangan kesucian, ia peras buah itu dengan perasan kehormatan, kemudian ia makan dengan bibir kerinduan, hingga ia lebur dalam gairah ketenggelaman. Lalu tangan keleluasaan memukul samudera kasih saying, dari samudera itu ia meminum seteguk yang bisa memabukkan dari segala hal selain Allah, kemabukan yang tak menyadarkan dirinya melainkan dengan Pertolongan jua. Lalu ia terbang dengan sayap-sayap citarasa, menuju suatu wilayah yang tak pernah terbayangkan oleh siapa pun jua.
Al-Wasithy ditanya, "Makanan apa yang paling enak?"
Ia jawab, "Sesuap dari dzikrullah Ta'ala, yang disuapkan oleh jemari yaqin, dari hidangan keabadian, ketika dihadapan sikap baik sangka (husnudzon) kepada Allah Ta'ala.
An-Nasaj ra, berkata, "Banyak penghuni dunia meninggalkan dunia, tetapi sayang mereka belum merasakan kebagusan yang dituju."
"Apa itu?"
"Kebahagiaan ma'rifat, kemanisan anugerah, kelezatan qurbah, dan kemesraan Cinta," katanya.
Muhammad bin Wasi' ra, berkata pula, "Sungguh benar, orang yang dimuliakan Allah melalui ma'rifat kepadaNya, dimana ia tidak menghinakan dirinya kepada selain Allah. Dan benar pula, orang yang dilimpahi kewalian Allah, hendaknya tetap memegang teguh keharusan haknya. Benar pula bagi orang yang dimuliakan Allah dengan kesertaanNya padanya, hingga ia tidak lagi menoleh kepada selain Allah, tidak beramal dengan dorongan nafsunya."
Abu Yazid al-Bisthamy juga berkata, "Sebenarnya dalam suatu malam itu ada minuman bagi jiwa para arifin, dimana hati mereka terbang dengan penuh cinta kepada Allah, digelorakan rindu kepadaNya, hanya saja pandangan mereka tidak kepada yang lain, hanya kepada Allah. Mereka disirnakan dari pandangan dunia dan akhirat.
Menurut saya, minuman itu adalah kebimbangan cinta, dan itu terbagi dua, bimbang penuh dengan ketakutan, bimbang dengan kedahsyatan cinta. Kebimbangan ketakutan bagi mereka yang terlempar, dan kebimbangan kedahsyatan cinta bagi orang yang arif dan para perindu. O, bukti orang-orang yang bimbang hati kerinduan, tambahi diriku, tambahkan rasanya…
Syeikh Ahmad Ar-Rifa'y
Rasulullah SAW bersabda:
"Orang yang cerdas adalah orang yang meneliti dirinya sendiri dan melakukan amaliyah demi zaman sesudah mati. Sedangkan orang yang lemah adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya dan sembari berkhayal atas (anugerah) Allah."
Amaliyah dibalik rahasia hadits di atas adalah amal Ma'rifat. Perlu diketahui Ma'rifat itu dari hamba, sedangkan pelimpahan ma'rifat itu dari Allah Ta'ala, yang merupakan hidayah paling mulia dan paling agung, yang ditunjukkan kepada para hambaNya.
Sesungguhnya Allah Ta'ala manakala ingin memilih hambaNya dan memberikan keistemewaan lebih dibanding yang lainnya, dan hendak menampakkan dalam Sirr hamba, matahari ma'rifat, maka Allah, Allah memandangnya dengan Mata Anugerah dan Kasih Sayang, dan ia dibukakan pintu-pintu hidayah, kemudian dimuliakan dengan kesadaran, dibangunkan dari tidur kealpaan, diberi nikmat dengan anugerah keleluasaan hati, bahkan dihapuskan dari kematian qalbu melalui kefahaman, dihilangkan dari keraguan, dimuliakan dengan rasa malu, rasa takut, rasa yaqin, dan keraguan dimusnahkan, disamping mendapatkan rasa tenteram.
Manakala terakumulasi seluruh perilaku tersebut pada diri hamba, maka ruang qalbunya dipenuhi cahaya yang memancar, maka ia akan melihat apa yang ada dibalik alam Jabarut, dan jilatan-jilatan api termatikan. Seandainya saja kema'rifatan itu terukir pada suatu benda, maka siapa pun yang memandangnya akan mati, karena keindahan dan kebagusannya. Setiap seseorang punya modal harta, sedangkan modal orang beriman adalah ma'rifat.
Ada seseorang bertanya kepada Dzun Nuun al-Mishry ra, :
"Sungguh aku mencintaimu."
"Bila engkau mengenal Allah, maka cukup Allah saja. Bila belum mengenalNya, carilah orang yang mengenalNya hingga orang itu menunjukkan padamu pada Allah," jawab Dzun Nuun
Ma'rifat adalah Pohon Terbagus
Menurut saya ma'rifat itu seperti pohon yang digarap oleh seorang pemilik di kebunnya. Buah-buahnya sangat mahal, dan rimbun cabang tangkainya. Manis sekali buahnya. Subur pula dedaunannya. Tinggi pohonnya, bersih indah tanahnya. Manis airnya, wangi aromanya. Pemiliknya sangat sayang karena kemuliaan kebun itu, disertai rasa gembira karena kesuburannya. Ia selalu jaga dari penyakit-penyakit yang menyerangnya dan menjaga pula dari bencana yang menimpa.
Begitu juga Pohon Ma'rifat yang digarap oleh Allah Ta'ala dalam taman hati hambaNya yang beriman, tentu sangat terjaga oleh kemuliaanNya. Setiap saat akan dikirim awan hujan anugerah dari sumber rahmatNya. Lalu mencurahlah hujan kemuliaan, melalui petir KuasaNya, dan kilatan KehendakNya, agar bersih suci dari debu-debu memandang hasil 'ubudiyahnya. Lalu allah mengirimkan ramutan kelembutan kasih saying dari hijab Pertolongan, agar sempurna kemuliaan kewaliannya, melalui penjagaan dan kewaspadaan.
Seorang yang 'arif (ma'rifat) senantiasa berkeliling dengan rahasia batinnya di bawah pohon ma'rifat itu, mencium aromanya, dan diputus dari penghalang adab, hal-hal yang bisa merusak buah-buah ma'rifat, dari kotoran dan sampah penyakit.
Tiba-tiba begitu panjang Sirr sang air di bawah pohon itu, begitu berlangsung lama perjalanan di sana, lalu terhentak untuk menikmati buahnya. Lalu ia julurkan tangan kesucian, ia peras buah itu dengan perasan kehormatan, kemudian ia makan dengan bibir kerinduan, hingga ia lebur dalam gairah ketenggelaman. Lalu tangan keleluasaan memukul samudera kasih saying, dari samudera itu ia meminum seteguk yang bisa memabukkan dari segala hal selain Allah, kemabukan yang tak menyadarkan dirinya melainkan dengan Pertolongan jua. Lalu ia terbang dengan sayap-sayap citarasa, menuju suatu wilayah yang tak pernah terbayangkan oleh siapa pun jua.
Al-Wasithy ditanya, "Makanan apa yang paling enak?"
Ia jawab, "Sesuap dari dzikrullah Ta'ala, yang disuapkan oleh jemari yaqin, dari hidangan keabadian, ketika dihadapan sikap baik sangka (husnudzon) kepada Allah Ta'ala.
An-Nasaj ra, berkata, "Banyak penghuni dunia meninggalkan dunia, tetapi sayang mereka belum merasakan kebagusan yang dituju."
"Apa itu?"
"Kebahagiaan ma'rifat, kemanisan anugerah, kelezatan qurbah, dan kemesraan Cinta," katanya.
Muhammad bin Wasi' ra, berkata pula, "Sungguh benar, orang yang dimuliakan Allah melalui ma'rifat kepadaNya, dimana ia tidak menghinakan dirinya kepada selain Allah. Dan benar pula, orang yang dilimpahi kewalian Allah, hendaknya tetap memegang teguh keharusan haknya. Benar pula bagi orang yang dimuliakan Allah dengan kesertaanNya padanya, hingga ia tidak lagi menoleh kepada selain Allah, tidak beramal dengan dorongan nafsunya."
Abu Yazid al-Bisthamy juga berkata, "Sebenarnya dalam suatu malam itu ada minuman bagi jiwa para arifin, dimana hati mereka terbang dengan penuh cinta kepada Allah, digelorakan rindu kepadaNya, hanya saja pandangan mereka tidak kepada yang lain, hanya kepada Allah. Mereka disirnakan dari pandangan dunia dan akhirat.
Menurut saya, minuman itu adalah kebimbangan cinta, dan itu terbagi dua, bimbang penuh dengan ketakutan, bimbang dengan kedahsyatan cinta. Kebimbangan ketakutan bagi mereka yang terlempar, dan kebimbangan kedahsyatan cinta bagi orang yang arif dan para perindu. O, bukti orang-orang yang bimbang hati kerinduan, tambahi diriku, tambahkan rasanya…
Ibadah Kok Cari Untung
Ibadah Kok Cari Untung !!!
Siapa pun yang beribadah kepada Allah karena motivasi kepentingan tertentu dengan harapan dariNya, atau beribadah dalam rangka menolak bencana dari Allah, maka sesungguhnya orang tersebut tidak berpijak dengan benar sesuai SifatNya.
Kenapa demikian?Karena betapa banyaknya orang beribadah kepada Allah tidak didasari keikhlasan (Lillaahi Ta'ala), tetapi demi yang lain, kepentingan duniawi, naiknya jabatan, dagangannya laku, bahkan demi menolak balak dan bencana atau siksa.
Apakah Allah Ta'ala memerintahkan kita melakukan ibadah dan menjauhi laranganNya karena sebuah sebab dan alasan-alasan tertentu?
Bukankah kita beribadah karena kita harus melakukan atau menyambut sifat RububiyahNya melalui sifat Ubudiyah kita?
Bukankah segalanya sudah dijamin Allah, dan segalanya dariNya, bersamaNya, menuju kepadaNya?
Apakah Allah tidak layak disembah, tidak layak menjadi Tuhan, tidak layak diabdi dan diikuti perintah dan laranganNya, manakala Allah tidak menciptakan syurga dan neraka?
Bukankah Rasulullah saw, mengkhabarkan, "Janganlah diantara kalian seperti budak yang buruk, jika tidak diancam ia tak pernah bekerja. Juga jangan seperti pekerja yang buruk, jika tidak diberi upah ia tidak bekerja…."
Dalam kitab Zabur Allah berfirman, "Adakah orang yang lebih zalim dibanding orang yang menyembahKu karena syurga atau takut neraka? Apakah jika Aku tidak menciptakan syurga dan neraka, aku tidak pantas untuk ditaati?"
Suatu hari Junaid Al-Baghdady dibangunkan oleh pamannya sekaligus gurunya, Sary as-Saqathy.
"Ada apa paman?"
"Aku melihat seakan-akan aku ada dihadapan Allah dan Dia berkata kepada saya….Wahai Sary, Aku menciptakan makhluk mereka merasa mencintaiKu. Begitu Aku menciptakan dunia, mereka lari semua dariKu dan tinggal sepuluh persen. Lalu Aku menciptakan syurga, sisa makhluk itu pun lari semua (ke syurga), tinggal satu persen saja. Lalu Aku memberikan cobaan kepada mereka ini, mereka pun lari semua dariKu tinggal 0,9 persen. Aku bicara pada makhlukKu yang tersisa itu yang masih bersamaKu.
"Bukan dunia yang kalian kehendaki, juga bukan syurga yang kalian inginkan, juga bukan neraka yang membuat kalian lari, lantas apa yang kalian mau?"
"Engkau lebih Tahu apa yang kami mau…" jawab mereka.
"Aku hendak memnindihkan bencana cobaan pada kalian sebanyak nafas kalian, yang bisa menghancurkan gunung-gunung, apakah kalian masih bersabar?" TanyaKu pada mereka.
Dan mereka pun menjawab, "Manakala Engkau Sendiri Yang memberi cobaan, lakukanlah sekehendakMu…."
Mereka itulah hamba-hambaKu yang sebenarnya.
Semua ini jadi renungan kita agar dalam setiap niat dan motivasi ibadah kita agar semata hanya menuju Allah, Lillahi Ta'ala, agar kitaterbebas dari penjara kemakhlukan, dan menyatu dalam Musyahadah denganNya. Ikhlas, adalah ruh dari seluruh ibadah kita. Bukan yang lainnya.
Membaca Melalui Asma-AsmaNya
Membaca Melalui Asma-AsmaNya
Mengenal Allah Melalui Allah
Sebuah peritiwa paling monumental dalam sejarah dunia, adalah turunnya Al-Qur’an pertama kali di Gua Hira’. Pertemuan Rasulullah Sayyidina Muhammad SAW, dengan Malaikat Jibril saat itu, bertepatan dengan Lailatul Qadr, merupakan representasi dari sebuah awal sekaligus akhir dari perjalanan waktu dunia yang terbatas, menuju Waktu Ilahi yang tiada hingga, Azali dan Abadi.
Betapa tidak. Ketika Jibril AS, memeluk beliau, sambil mendiktekan bacaan, “Iqra’!,” lalu dijawabnya “Maa Anaa Bi Qaari’” (Aku tak bisa membaca). Sebuah jawaban teologis, filosufis dan sekaligus Sufistik. Disebut teologis karena ketika itu Rasulullah berada di hadapan Wajah Allah, sehingga yang ada hanyalah Tauhidullah, bahkan dirinya sendiri sekali pun sirna dalam Tauhid sampai harus berkata, “Aku tak bisa membaca…”
Begitu juga sangat filosufis, karena dunia filsafat tak habis-habisnya mengurai peristiwa itu, sebagai landasan utama peradaban Tauhid di muka bumi, dan setiap kali dimaknai secara filosufis, muncul pula cahaya baru dibalik makna yang tersembunyi.
Bahkan juga sangat Sufistik, karena “Al-Qaari al-Haqiqi Huwa Allah Ta’ala”, Sang pembaca yang hakiki adalah Allah Ta’ala. Karena Dialah yang Berkalam, dan Yang Maha Tahu makna Kalam yang sesungguhnya.
Sampai ketiga kali, disaat Jibril AS meneruskan,
Iqro’ Bismi Robbikalladzi Khalaq….dst.
Kanjeng Nabi Muhammad SAW, baru bisa menirukan. Disinilah rahasia Asma Allah tersembunyi – dan dalam buku karya KH. Abdul Hamid Husen ini akan terurai , bagaimana Rasulullah SAW mampu membaca ketika kelanjutan ayat kalimat pada ayat itu terbesit kalimat. Bismi Rabbik (Dengan Asma Tuhanmu). Seandainya boleh ditafsirkan, “Bacalah Al-Qur’an ini dengan Nama Tuhanmu. Siapa Nama Tuhanmu? “Allah!”, dengan kata lain, bacalah Al-Qur’an ini dengan Allah…Allah…Allah…”.
Dan memang demikian, akhirnya tak satu pun dari seluruh tinta yang menghabiskan tujuh lautan ruhani maupun tujuh lautan fisika, mampu menuliskan, melukiskan bahkan menggambarkan dahsyatnya Ilmu Allah dalam Kalamullah itu. Yang ada hanyalah gemuruh jiwa yang menggetarkan seluruh jagad semesta ruhani dan jasmani, dalam kristal jantung Rasulullah SAW, sampai beliau menggigil dalam Fana’ul fana’. Karena Wayabqqo Wajhu Rabbika Dzul-Jalaali wal-Ikraam, ketika itu.
“Zammiluuni…Zammiluuni….” Selimuti aku….selimuti aku…. Seakan Rasulullah SAW, berkata: “Selimuti aku….selimuti… karena Cahaya dari Maha CahayaMu yang memancar di seluruh jagad cerminku. Selimuti aku, selimuti…., betapa senyap, sunyi, beku, dingin, tiada tara dalam GenggamanMu…..Selimuti…Oh, selimuti….dan akulah sesungguhnya selimutMu….Akulah NamaMu, akulah Ismu Rabbik itu…Oh…..”
Saat itu, dan mulai kala itu, tiada hari tanpa Munajat, tiada kondisi dan waktu melainkan adalah waktu-waktu penuh Liqa’ Allah. Maka Ismu Rabbik itu melimpah begitu dahsyatnya tanpa bisa terucap, tertulis dan terbayang, menjadi Al-Asma’ul Husna, diantaranya, adalah Asmaul Husna dalam surat Al-Hasyr yang dikaji di buku ini.
Peristiwa Hira’ itu, juga awal mula sebuah ajaran tentang Dzikrullah dimulai. Gemuruh Dzikrullah, telah menyelimuti seluruh nadi, ruh dan sirr Rasulullah SAW, dalam hamparan jiwanya. Karena hanya jiwa-jiwa yang beriman saja yang bisa menjadi Istana Ilahiyah.
Bahkan, dari 99 Al-Asmaul Husna yang pernah dihaditskan oleh Rasulullah SAW, dibaca oleh Asy-Syeikhul Akbar Muhyiddin Ibnu ‘Araby, kemudian tertulis dalam kitabnya, An-Nuurul Asna Bi-MunajaatiLlaahi Bi-Asmaail Husnaa. 99 Munajat yang begitu indah, sekaligus menggambarkan Huquq ar-Rubuiyyah (Hak-hak Ketuhahan) dan Huqul ‘Ibad wal ‘Ubudiyah (hak-hak kehambaan dan ubudiyah).
Misalnya, ketika membaca AsmaNya, “Allah”, Ibnu ‘Araby bermunajat:
Ya Allah, tunjukkan padaku, bersamaMu, kepadaMu. Limpahilah rizki keteguhan (keketapan) di sisi WujudMu, sepanjang diriku dengan nya, untuk beradab di hadapanMu….
Yaa…Rahmaan, kasihanilah daku dengan pemenuhan paripurna nikmat-nikmatMu, tersampainya cita-cita ketika menahan cobaan-cobaan dahsyat dan ujianMu.
Yaa… Rahiim, sayangilah daku dengan memasukan ke syurgaMu dan bersuka ria dengan taqarrub dan memandangMu…
Yaa Maalik, Wahai….DiRaja dunia dan akhirat, dengan kekuasaan mutlak paripurna, jadikan diriku sampai di Jannatun Na’im dan Kerajaan Agung dengan beramal penuh total.
Yaa.. Quddus, sucikan diriku dari aib-aib dan bencana, sucikan diriku dari dosa-dosa dan kejahatan diri.
Yaa…Salaam, selamatkan daku dari seluruh sifat yang tercela, dan jadikan diriku dari golongan orang yang dating kepadaMu dengan Qalbun Saliim.
Ya… Mu’min, amanlahlah daku di hari yang paling mengejutkan, limpahilan rizki padaku dengan bertambahnya iman kepadaMu, sebagai bagianku.
Yaa…Muhaimin, Jadikanlah diriku sebagai penyaksi dan pemandang atas pemeliharaanMu, dan jadikanlah daku sebagai pemelihara dan pemegang amanah-amanahMu dan Janji-janjiMu.
Yaa…Aziz, Jadikanlah daku dengan PerkasaMu termasuk orang-orang yang merasa hina di hadapanMu dan berikanlah padaku amaliah dengan amal-amal akhirat di sisiMu.
Yaa… Jabbaar…,Paksalah diriku untuk berselaras dengan KehendakMu, dan janganlah Engkau jadikan aku sebagai pemaksa pada hamba-hambaMu.
Yaa..Mutakabbir, jadikanlah daku termasuk orang-orang yang tawadlu’ atas kebesaran-kebesaranMu, tergolong orang-orang yang tunduk atas hukum dan keputusanMu.
Yaa…Khaaliq, ciptakan pertolongan dalam hatiku untuk taat kepadaMu, dan lindungi daku dari kezaliman dan pengikutnya diantara makhluk-makhlukMu.
Yaa..Baari’, jadikanlah diriku dari golongan yang terbaik dari manusia, dan riaslah daku dengan akhlak baik yang diridloi.
Yaa…Mushawwir, Rupakanlah diriku dengan bentuk ubudiyah padaMu, dan cahayailah daku dengan cahaya-cahaya ma’rifatMu.
Dan seterusnya sampai sembilan puluh sembilan Nama Allah.
Itulah implementasi lain, dari
”Berakhlaqlah dengan Akhlaq-Akhlaq Allah”.
Maka Al-Asmaul Husna, adalah hampiran pertama, ketika seorang hamba ingin merespon Akhlaqullah, melalui munajat-munajat sebagaimana digambarkan oleh Ibnu ‘Araby dan juga di dalam uraian buku ini.
Selebihnya, buku ini, haqqul yaqin, akan sangat bermanfaat bagi ummat, dunia hingga akhirat.
Mengenal Allah Melalui Allah
Sebuah peritiwa paling monumental dalam sejarah dunia, adalah turunnya Al-Qur’an pertama kali di Gua Hira’. Pertemuan Rasulullah Sayyidina Muhammad SAW, dengan Malaikat Jibril saat itu, bertepatan dengan Lailatul Qadr, merupakan representasi dari sebuah awal sekaligus akhir dari perjalanan waktu dunia yang terbatas, menuju Waktu Ilahi yang tiada hingga, Azali dan Abadi.
Betapa tidak. Ketika Jibril AS, memeluk beliau, sambil mendiktekan bacaan, “Iqra’!,” lalu dijawabnya “Maa Anaa Bi Qaari’” (Aku tak bisa membaca). Sebuah jawaban teologis, filosufis dan sekaligus Sufistik. Disebut teologis karena ketika itu Rasulullah berada di hadapan Wajah Allah, sehingga yang ada hanyalah Tauhidullah, bahkan dirinya sendiri sekali pun sirna dalam Tauhid sampai harus berkata, “Aku tak bisa membaca…”
Begitu juga sangat filosufis, karena dunia filsafat tak habis-habisnya mengurai peristiwa itu, sebagai landasan utama peradaban Tauhid di muka bumi, dan setiap kali dimaknai secara filosufis, muncul pula cahaya baru dibalik makna yang tersembunyi.
Bahkan juga sangat Sufistik, karena “Al-Qaari al-Haqiqi Huwa Allah Ta’ala”, Sang pembaca yang hakiki adalah Allah Ta’ala. Karena Dialah yang Berkalam, dan Yang Maha Tahu makna Kalam yang sesungguhnya.
Sampai ketiga kali, disaat Jibril AS meneruskan,
Iqro’ Bismi Robbikalladzi Khalaq….dst.
Kanjeng Nabi Muhammad SAW, baru bisa menirukan. Disinilah rahasia Asma Allah tersembunyi – dan dalam buku karya KH. Abdul Hamid Husen ini akan terurai , bagaimana Rasulullah SAW mampu membaca ketika kelanjutan ayat kalimat pada ayat itu terbesit kalimat. Bismi Rabbik (Dengan Asma Tuhanmu). Seandainya boleh ditafsirkan, “Bacalah Al-Qur’an ini dengan Nama Tuhanmu. Siapa Nama Tuhanmu? “Allah!”, dengan kata lain, bacalah Al-Qur’an ini dengan Allah…Allah…Allah…”.
Dan memang demikian, akhirnya tak satu pun dari seluruh tinta yang menghabiskan tujuh lautan ruhani maupun tujuh lautan fisika, mampu menuliskan, melukiskan bahkan menggambarkan dahsyatnya Ilmu Allah dalam Kalamullah itu. Yang ada hanyalah gemuruh jiwa yang menggetarkan seluruh jagad semesta ruhani dan jasmani, dalam kristal jantung Rasulullah SAW, sampai beliau menggigil dalam Fana’ul fana’. Karena Wayabqqo Wajhu Rabbika Dzul-Jalaali wal-Ikraam, ketika itu.
“Zammiluuni…Zammiluuni….” Selimuti aku….selimuti aku…. Seakan Rasulullah SAW, berkata: “Selimuti aku….selimuti… karena Cahaya dari Maha CahayaMu yang memancar di seluruh jagad cerminku. Selimuti aku, selimuti…., betapa senyap, sunyi, beku, dingin, tiada tara dalam GenggamanMu…..Selimuti…Oh, selimuti….dan akulah sesungguhnya selimutMu….Akulah NamaMu, akulah Ismu Rabbik itu…Oh…..”
Saat itu, dan mulai kala itu, tiada hari tanpa Munajat, tiada kondisi dan waktu melainkan adalah waktu-waktu penuh Liqa’ Allah. Maka Ismu Rabbik itu melimpah begitu dahsyatnya tanpa bisa terucap, tertulis dan terbayang, menjadi Al-Asma’ul Husna, diantaranya, adalah Asmaul Husna dalam surat Al-Hasyr yang dikaji di buku ini.
Peristiwa Hira’ itu, juga awal mula sebuah ajaran tentang Dzikrullah dimulai. Gemuruh Dzikrullah, telah menyelimuti seluruh nadi, ruh dan sirr Rasulullah SAW, dalam hamparan jiwanya. Karena hanya jiwa-jiwa yang beriman saja yang bisa menjadi Istana Ilahiyah.
Bahkan, dari 99 Al-Asmaul Husna yang pernah dihaditskan oleh Rasulullah SAW, dibaca oleh Asy-Syeikhul Akbar Muhyiddin Ibnu ‘Araby, kemudian tertulis dalam kitabnya, An-Nuurul Asna Bi-MunajaatiLlaahi Bi-Asmaail Husnaa. 99 Munajat yang begitu indah, sekaligus menggambarkan Huquq ar-Rubuiyyah (Hak-hak Ketuhahan) dan Huqul ‘Ibad wal ‘Ubudiyah (hak-hak kehambaan dan ubudiyah).
Misalnya, ketika membaca AsmaNya, “Allah”, Ibnu ‘Araby bermunajat:
Ya Allah, tunjukkan padaku, bersamaMu, kepadaMu. Limpahilah rizki keteguhan (keketapan) di sisi WujudMu, sepanjang diriku dengan nya, untuk beradab di hadapanMu….
Yaa…Rahmaan, kasihanilah daku dengan pemenuhan paripurna nikmat-nikmatMu, tersampainya cita-cita ketika menahan cobaan-cobaan dahsyat dan ujianMu.
Yaa… Rahiim, sayangilah daku dengan memasukan ke syurgaMu dan bersuka ria dengan taqarrub dan memandangMu…
Yaa Maalik, Wahai….DiRaja dunia dan akhirat, dengan kekuasaan mutlak paripurna, jadikan diriku sampai di Jannatun Na’im dan Kerajaan Agung dengan beramal penuh total.
Yaa.. Quddus, sucikan diriku dari aib-aib dan bencana, sucikan diriku dari dosa-dosa dan kejahatan diri.
Yaa…Salaam, selamatkan daku dari seluruh sifat yang tercela, dan jadikan diriku dari golongan orang yang dating kepadaMu dengan Qalbun Saliim.
Ya… Mu’min, amanlahlah daku di hari yang paling mengejutkan, limpahilan rizki padaku dengan bertambahnya iman kepadaMu, sebagai bagianku.
Yaa…Muhaimin, Jadikanlah diriku sebagai penyaksi dan pemandang atas pemeliharaanMu, dan jadikanlah daku sebagai pemelihara dan pemegang amanah-amanahMu dan Janji-janjiMu.
Yaa…Aziz, Jadikanlah daku dengan PerkasaMu termasuk orang-orang yang merasa hina di hadapanMu dan berikanlah padaku amaliah dengan amal-amal akhirat di sisiMu.
Yaa… Jabbaar…,Paksalah diriku untuk berselaras dengan KehendakMu, dan janganlah Engkau jadikan aku sebagai pemaksa pada hamba-hambaMu.
Yaa..Mutakabbir, jadikanlah daku termasuk orang-orang yang tawadlu’ atas kebesaran-kebesaranMu, tergolong orang-orang yang tunduk atas hukum dan keputusanMu.
Yaa…Khaaliq, ciptakan pertolongan dalam hatiku untuk taat kepadaMu, dan lindungi daku dari kezaliman dan pengikutnya diantara makhluk-makhlukMu.
Yaa..Baari’, jadikanlah diriku dari golongan yang terbaik dari manusia, dan riaslah daku dengan akhlak baik yang diridloi.
Yaa…Mushawwir, Rupakanlah diriku dengan bentuk ubudiyah padaMu, dan cahayailah daku dengan cahaya-cahaya ma’rifatMu.
Dan seterusnya sampai sembilan puluh sembilan Nama Allah.
Itulah implementasi lain, dari
”Berakhlaqlah dengan Akhlaq-Akhlaq Allah”.
Maka Al-Asmaul Husna, adalah hampiran pertama, ketika seorang hamba ingin merespon Akhlaqullah, melalui munajat-munajat sebagaimana digambarkan oleh Ibnu ‘Araby dan juga di dalam uraian buku ini.
Selebihnya, buku ini, haqqul yaqin, akan sangat bermanfaat bagi ummat, dunia hingga akhirat.
Ridho dan Sifat Pelakunya
Ridho dan Sifat Pelakunya
Syeikh Abu Nashr as-Sarraj
Syekh Abu Nashr as Sarraj - rahimahullah - berkata: Ridha adalah kedudukan spiritual mulia. Sementara itu Allah telah menyebutkan dalam firman Nya: "Allah ridha (rela) kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya." (Q.s. al Ma'idah: 119).
Dia juga. berfirman: "Dan keridhaan Allah itu lebih besar " (Q.s. at Taubah: 72).
Dalam ayat ini disebutkan, bahwa ridha Allah kepada mereka (hamba) jauh lebih besar dan lebih dahulu daripada ridha mereka kepada Nya.
Sementara itu ridha adalah pintu Allah yang paling agung dan merupakan surga. dunia. Dimana ridha adalah menjadikan hati seorang hamba merasa tenang di bawah kebijakan hukum Allah Azzawajalla.
Al-Junaid - rahimahullah- pernah ditanya tentang ridha, kemudian la menjawab, "Ridha adalah tidak memilih (ikhtiyar)." Sementara al-Qannad - rahimahullah -Juga pernah ditanya tentang ridha, lalu ia menjawab, "Ridha adalah tenangnya hati atas berlakunya takdir."
Dzun-Nun pun pernah ditanya tentang ridha, lalu ia menjawab, "Ridha adalah senangnya hati atas takdir yang berlaku padanya.
Ibnu Atha' - rahimahullah - mengatakan, "Ridha adalah melihatnya hati nurani pada pilihan Allah yang lebih dahulu telah ditetapkan untuk hamba-Nya. Agar ia tahu bahwa Dia memilihkannya yang terbaik untuknya, sehingga la ridha (senang) dan tidak jengkel dengan-Nya."
Abu Bakar al Wasithi - rahimahullah - berkata, "Pergunakan ridha sekuat tenagamu, dan jangan Anda biarkan ridha memperalat Anda, sehingga Anda akan terhalang untuk merasakan kenikmatannya dan melihat hakikatnya."
Hanya saja, orang orang yang ridha dibedakan menjadi tiga kondisi:
Pertama, orang yang berusaha mengikis rasa gelisah dari dalam hatinya, sehingga hatinya tetap stabil dan seimbang terhadap Allah swt. atas kebijakan kebijakan hukum yang diberikan-Nya. Baik berupa hal hal yang tidak diinginkan dan kesulitan maupun hal-hal yang menyenangkan, baik berupa pemberian atau tidak diberi apa pun."
Kedua, orang yang tidak lagi melihat ridhanya kepada Allah, karena ia hanya melihat ridha Allah kepadanya. Karena Allah swt. telah berfirman, "Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya" (Q.s. al Ma'idah: 119).
Sehingga ia tidak menetapkan, bahwa dirinya lebih dahulu ridha kepada-Nya, sekalipun kondisi spiritualnya tetap stabil dalam menyikapi kesulitan dan bencana maupun hal hal yang menyenangkan, baik diberi atau tidak.
Ketiga, adalah orang yang melewati batas itu. la sudah tidak lagi melihat ridha Allah kepadanya atau ridhanya kepada Allah. Sebab Allah telah menetapkan lebih dahulu ridha-Nya kepada makhluk. Sebagaimana yang dikemukakan Abu Sulaiman ad-Darani - rahimahullah, "Amal (perbuatan) makhluk bukanlah yang membuat Dia ridha atau benci. Namun Dia memang ridha kepada sekelompok kaum, kemudian mereka dijadikan bisa berbuat dengan amal (perbuatan) orang orang yang diridhai. Sebagaimana pula Dia memang sudah murka terhadap sekelompok kaum, kemudian mereka dijadikan bisa berbuat dengan perbuatan orang orang yang Dia murkai. "
Ridha merupakan akhir dari beberapa tingkatan dan kedudukan spiritual (maqamat). Kemudian setelah itu mengharuskan pada beberapa kondisi spiritual (ahwal) orang-orang yang mampu mengendalikan hati nuraninya (arbabul qulub), melihat hal hal yang gaib dan pelatihan hati nurani karena jernihnya dzikir dan hakikat berbagai kondisi spiritual.
Maka kondisi spiritual pertama bagi orang orang yang mampu mengendalikan hati nuraninya adalah muraqabah.
Kiat-kiat Sabar
Kiat-kiat Sabar
Pengajian Syeikh Abu Nashr as-Sarraj
Syekh Abu Nashr as-Sarraj - rahimahullah -berkata: Kedudukan spiritual sabar adalah kedudukan spiritual mulia. Allah telah memuji orang-orang yang bersabar dan menyebutkan mereka dalam firman-Nya: "Hanya orang-orang yang bersabar akan diberi pahala mereka yang tidak terbatas." (Q.s. az-Zumar: 10).
Al-Junaid - rahimahullah - pernah ditanya tentang sabar, kemudian ia menjawab. "Sabar adalah memikul semua beban berat sampai habis saat-saat yang tidak diinginkan."
Ibrahim al-Khawash - rahimahullah - berkata. "Sebagian besar manusia lari dari memikul beban berat sabar. Kemudian mereka berlindung diri pada berbagai sarana (sebab) dan pencarian, bahkan mereka bergantung padanya seakan-akan sesuatu yang bisa memberinya."
Ada seseorang datang kepada asy-Syibli dan bertanya, "Sabar yang mana yang sangat berat bebannya bagi orang-orang yang bersabar?"
Asy-Syibli menjawab. "Sabar demi Allah swt. (fillah)" Orang itu berkata, "Tidak!!"
Asy-Syibli menjawabnya lagi. "Sabar karena Allah (lillah)." Ia berkata lagi, "Tidak!!"
Asy-Syibli menjawabnya lagi, "Sabar bersama Allah (ma'allah)." Ia pun berkata, "Tidak.!!"
Akhirnya as-Syibli marah dan balik bertanya, "Celaka kau!! Lalu apa?"
Orang menjawab, "Sabar dari Allah ('anillah)." Kemudian asy-Syibli berteriak keras dan hampir ruhnya tercabut.
Kiat-kiat Sabar
Saya pernah bertanya kepada Ibnu Salim di Basrah tentang sabar. Lalu ia menjawab dengan tiga jawaban: Pertama, orang yang berusaha untuk bersabar (mutashabir), kedua, orang yang sabar (shabir) dan ketiga, orang yang sangat bersabar (shabhar). Maka orang yang berusaha bersabar adalah orang yang sabar demi Allah swt. (fillah). Suatu saat ia bersabar atas hal-hal yang tidak diinginkan, tapi di saat yang lain ia tak sanggup bersabar.
Tingkatan ini sebagaimana yang pernah ditanyakan kepada al-Qannad tentang sabar. Kemudian ia menjawab, "Sabar ialah senantiasa melakukan yang wajib dalam meninggalkan apa yang dilarang dan tekun melakukan apa yang diperintahkan. Orang yang sabar adalah orang yang sabar pada Allah dan karena Allah. Ia tidak pernah gelisah dan tidak memperkenankan ada kesempatan gelisah dan harapan untuk mengeluh."
Sebagaimana juga dikisahkan dari Dzun-Nun al-Mishri - rahimahullah - yang berkata: Saya pernah datang menjenguk orang sakit. Tatkala ia berbicara padaku ia merintih kesakitan. Kemudian saya berkata kepadanya, "Tidak dianggap jujur cinta seseorang jika tidak sabar atas bahaya yang menimpanya." Kemudian orang yang sakit balik berkata. "Justru tidak bisa dianggap jujur cinta seseorang bila ia belum bisa merasakan nikmatnya bahaya yang menimpanya."
Sebagaimana pula yang diceritakan oleh asy-Syibli - rahimahullah -, "Ketika al-Maristani dimasukkan di sebuah tempat dan diikat, maka beberapa temannya ikut masuk pula. Kemudian al-Maristani bertanya kepada mereka, 'Untuk apa kalian datang ke sini?' Mereka menjawab, 'Kami adalah orang-orang yang mencintai Anda.' Kemudian ia mulai melempari mereka dengan batu merah. Mereka pun lari tunggang-langgang. Maka al-Maristani berkata, 'Wahai para pendusta, kalian mengaku orang-orang yang mencintaiku namun kalian tak sabar atas pukulanku'."
Adapun orang yang sangat bersabar adalah mereka yang kesabarannya demi Allah, karena Allah dan dengan Allah. Orang yang demikian, jika saja seluruh cobaan menimpanya maka dari segi kewajiban dan hakikat tidak akan melemahkan, namun ia tetap kuat menghadapinya, sekalipun dari segi bentuk dan rupa akan berubah.
Asy-Syibli menggambarkan tentang kesabaran dengan beberapa bait syair:
Tetesan air mata mengukir garis di pipi,
yang akan dibaca oleh orang yang tak mampu membaca dengan baik.
Sesunguhnya suara orang yang cinta dari pedihnya kerinduan dan takut berpisah selalu mendera.
Orang yang sabar selalu memohon pertolonaan kepada-Nya untuk bisa bersabar,Para pencinta meneriakkan kata: sabarlah
Argumentasi keilmuan tentang hal ini adalah apa yang dikisahkan dalam sebuah Hadis:
"Bahwa Nabi Zakaria a.s. tatkala gergaji diletakkan di atas kepalanya, maka ia sekali merintih kesakitan. Kemudian Allah swt. menurunkan wahyu kepadanya, "Jika terdengar rintihan darimu sekali lagi, sungguh Aku akan menjungkir-balikkan langit dari bumi antara yang satu dengan yang lain'." (Diriwayatkan dari Wahb. Ini cerita dari Bani Israel. Tidak benar bila cerita ini dinisbatkan kepada Nabi saw,.). Sementara itu sabar tentu saja mengharuskan tawakal.
Pengajian Syeikh Abu Nashr as-Sarraj
Syekh Abu Nashr as-Sarraj - rahimahullah -berkata: Kedudukan spiritual sabar adalah kedudukan spiritual mulia. Allah telah memuji orang-orang yang bersabar dan menyebutkan mereka dalam firman-Nya: "Hanya orang-orang yang bersabar akan diberi pahala mereka yang tidak terbatas." (Q.s. az-Zumar: 10).
Al-Junaid - rahimahullah - pernah ditanya tentang sabar, kemudian ia menjawab. "Sabar adalah memikul semua beban berat sampai habis saat-saat yang tidak diinginkan."
Ibrahim al-Khawash - rahimahullah - berkata. "Sebagian besar manusia lari dari memikul beban berat sabar. Kemudian mereka berlindung diri pada berbagai sarana (sebab) dan pencarian, bahkan mereka bergantung padanya seakan-akan sesuatu yang bisa memberinya."
Ada seseorang datang kepada asy-Syibli dan bertanya, "Sabar yang mana yang sangat berat bebannya bagi orang-orang yang bersabar?"
Asy-Syibli menjawab. "Sabar demi Allah swt. (fillah)" Orang itu berkata, "Tidak!!"
Asy-Syibli menjawabnya lagi. "Sabar karena Allah (lillah)." Ia berkata lagi, "Tidak!!"
Asy-Syibli menjawabnya lagi, "Sabar bersama Allah (ma'allah)." Ia pun berkata, "Tidak.!!"
Akhirnya as-Syibli marah dan balik bertanya, "Celaka kau!! Lalu apa?"
Orang menjawab, "Sabar dari Allah ('anillah)." Kemudian asy-Syibli berteriak keras dan hampir ruhnya tercabut.
Kiat-kiat Sabar
Saya pernah bertanya kepada Ibnu Salim di Basrah tentang sabar. Lalu ia menjawab dengan tiga jawaban: Pertama, orang yang berusaha untuk bersabar (mutashabir), kedua, orang yang sabar (shabir) dan ketiga, orang yang sangat bersabar (shabhar). Maka orang yang berusaha bersabar adalah orang yang sabar demi Allah swt. (fillah). Suatu saat ia bersabar atas hal-hal yang tidak diinginkan, tapi di saat yang lain ia tak sanggup bersabar.
Tingkatan ini sebagaimana yang pernah ditanyakan kepada al-Qannad tentang sabar. Kemudian ia menjawab, "Sabar ialah senantiasa melakukan yang wajib dalam meninggalkan apa yang dilarang dan tekun melakukan apa yang diperintahkan. Orang yang sabar adalah orang yang sabar pada Allah dan karena Allah. Ia tidak pernah gelisah dan tidak memperkenankan ada kesempatan gelisah dan harapan untuk mengeluh."
Sebagaimana juga dikisahkan dari Dzun-Nun al-Mishri - rahimahullah - yang berkata: Saya pernah datang menjenguk orang sakit. Tatkala ia berbicara padaku ia merintih kesakitan. Kemudian saya berkata kepadanya, "Tidak dianggap jujur cinta seseorang jika tidak sabar atas bahaya yang menimpanya." Kemudian orang yang sakit balik berkata. "Justru tidak bisa dianggap jujur cinta seseorang bila ia belum bisa merasakan nikmatnya bahaya yang menimpanya."
Sebagaimana pula yang diceritakan oleh asy-Syibli - rahimahullah -, "Ketika al-Maristani dimasukkan di sebuah tempat dan diikat, maka beberapa temannya ikut masuk pula. Kemudian al-Maristani bertanya kepada mereka, 'Untuk apa kalian datang ke sini?' Mereka menjawab, 'Kami adalah orang-orang yang mencintai Anda.' Kemudian ia mulai melempari mereka dengan batu merah. Mereka pun lari tunggang-langgang. Maka al-Maristani berkata, 'Wahai para pendusta, kalian mengaku orang-orang yang mencintaiku namun kalian tak sabar atas pukulanku'."
Adapun orang yang sangat bersabar adalah mereka yang kesabarannya demi Allah, karena Allah dan dengan Allah. Orang yang demikian, jika saja seluruh cobaan menimpanya maka dari segi kewajiban dan hakikat tidak akan melemahkan, namun ia tetap kuat menghadapinya, sekalipun dari segi bentuk dan rupa akan berubah.
Asy-Syibli menggambarkan tentang kesabaran dengan beberapa bait syair:
Tetesan air mata mengukir garis di pipi,
yang akan dibaca oleh orang yang tak mampu membaca dengan baik.
Sesunguhnya suara orang yang cinta dari pedihnya kerinduan dan takut berpisah selalu mendera.
Orang yang sabar selalu memohon pertolonaan kepada-Nya untuk bisa bersabar,Para pencinta meneriakkan kata: sabarlah
Argumentasi keilmuan tentang hal ini adalah apa yang dikisahkan dalam sebuah Hadis:
"Bahwa Nabi Zakaria a.s. tatkala gergaji diletakkan di atas kepalanya, maka ia sekali merintih kesakitan. Kemudian Allah swt. menurunkan wahyu kepadanya, "Jika terdengar rintihan darimu sekali lagi, sungguh Aku akan menjungkir-balikkan langit dari bumi antara yang satu dengan yang lain'." (Diriwayatkan dari Wahb. Ini cerita dari Bani Israel. Tidak benar bila cerita ini dinisbatkan kepada Nabi saw,.). Sementara itu sabar tentu saja mengharuskan tawakal.
Curigalah Pada Diri Sendiri
Curigalah Pada Diri Sendiri
Mengikuti Pengajian Syeikh Abdul Qadir al-Jilany 7 Jumadil Akhir 545 H, di Madrasahnya
Jadilah anda ini orang yang berakal, bukan pendusta. Anda mengatakan takut kepada Allah namun kenyataannya anda takut pada selain Allah. Jangan takut pada Jin, Manusia dan Malaikat. Jangan takut pada binatang yang bersuara maupun yang tak bersuara. Jangan takut pada azab dunia dan jangan takut pada azab akhirat. Takutlah pada Yang Mengazab dengan azabNya.
Orang berakal tidak pernah peduli dengan cacian si pencaci di sisi Allah Azza wa-Jalla. Ia tuli, dari segala suara, selain Kalam Allah Azza wa-Jalla. Sebab seluruh makhluk di hadapanNya sangat lemah, sakit dan sangat fakir. Ia dan sejenisnya, adalah mereka para Ulama yang ilmunya bermanfaat.
Para Ulama yariat dan hakikat, adalah para dokter agama yang akan menyelamatkan pecahnya agama. Hai orang yang memecah agamanya, telah dating kepada kalian hingga menguasai kepingan pecahanmu (diutuhkan kembali). Allah yang menurunkan penyakit, Dia pula yang menurunkan penyembuhnya, Dia lebih tahu kebaikan dibanding yang lain. Karena itu jangan curiga kepada Tuhanmu atas tindakanNya. Justru anda harus curiga pada dirimu sendiri, mengecam dirimu, disbanding lainnya. Katakan pada dirimu, "Anugerah itu bagi yang taat, dan cambukan itu bagi yang mkaksiat."
Manakala Allah Azza wa-Jalla berkehendak baik pada hambaNya Dia akan mengujinya, jika ia sabar maka Allah menaikkan derajatnya, membuatnya lebih baik, menganugerahinya dan memedulikannya.
"Ya Allah, kami mohon kedekatan padaMu tanpa bencana, lembutkanlah kami di dalam qadla dan qadarMu, cegahlah kami dari keburukan orang-orang jahat dan rekayasa para pengkhianat. Jagalah kami, sebagaimana kehendakMu dan seperti kehendakMu. Kami memohon ampunan dan kesehatan dalam agama, dunia dan akhirat. Dan kami mohon taufiq atas amal-amal yang sholeh serta keihlasan dalam amal ibadah. Amin."
Ada seseorang yang masuk di kediam Syeikh Abu Yazid al-Bisthamy ra, ia tengak tengok ke kanan dan ke kiri.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Abu Yazid.
"Aku cari tempat yang bersih untuk sholat," jawabnya.
"Sucikan hatimu dan sholatlah dimana saja kamu mau…" kata Abu Yazid.
Orang yang riya' tidak bisa diketahui kecuali oleh orang-orang yang ikhlas. Mereka ada dalam keikhlasan dan terus menerus menjaga ikhlasnya, karena ikhlas itu merupakan panji bagi thariqat kaum Sufi, jangan sampai amal ibadah sia-sia. Sebab riya', 'ujub, kemunafikan, merupakan bagian dari saham syetan yang selalu dilemparkan ke dalam hati.
Karena itu menghadaplah kepada para Syeikh, belajarlah dari mereka bagaimana menempuh jalan agar sa,pai kepada Allah Azza wa-Jalla. Karena jalan itu merupakan jalan yang sudah ditempuhnya. Bertanyalah kepada mereka tentang penyakit-penyakit jiwa, nafsu, dan wataknya. Karena para Syeikh itu telah tegas memeranginya, mereka tahu rekayasa nafsu dan bagaimana menjauhinya dalam waktu yang panjang. Pergulatan yang panjang sampai kahirnya mereka menguasai nafsu.
Karenanya jangan terpedaya oleh hembusan syetan dalam dirimu, jangan pula tidak waspada, karena panah nafsu memeburumu, dan ia tidak punya jalan kecuali melalui dirimu. Syetan jin tidak akan mampu menguasaimu jika tidak melalui syetan manusia, yaityu nafsu dengan segenap elemen keburukannya.
Mohonlah pertolongan kepada Allah Azza wa-Jalla, dan mohonlah agar terlindungi dari musuh-musuh jiwamu, maka Allah akan menolongmu. Bila engkau menemukanNya dan engkau tahu apa yang ada di sisiNya, engkau meraih anugerah dariNya, makia kembalikan - dari sisiNya - menuju keluarga dan khalayak. Ajaklah mereka semua kepadaNya bersamaNya, katakana padsa mereka, "Kemarilah dengan semua keluarga kalian….". Nabi Yusuf as, ketika menjadi raja, ia berkata kepada keluarganya: "Datanglah padaku dengan seluruh keluargamu…" (Yusuf: 93)
Orang yang terhalang adalah orang yang terdinding dari Allah Azza wa-Jalla dan ia kehilangan kedekatan padaNya dunia hingga akhirat. Allah Ta'ala berfirman dalam salah satu KitabNya: " Hai anak cucu Adam, manakala dirimu teremukkan, maka anda akan kehilangan segalanya…"
Bagaimana anda tidak kehilangan Allah Azza wa-Jalla sedangkan anda kontra kepadaNya dan kepada orang-orang beriman dari hambaNya, menyakiti mereka dengan ucapan dan tindakanmu, lahir batin anda menentang mereka?
Sabda Nabi saw : "Menyakiti orang beriman itu lebih besar dosanya ketimbang merusak Ka'bah dan Baitul Ma'mur lima belas kali…" (Hr Ibnu Majah)
Dengarkan! Anda bisa celaka, hai orang-orang yang selalu mengecam dan menyakiti orang-orang Sufi. Mereka adalah orang yang beriman dan saleh, yang senantiasa ma'rifat kepadaNya, yang senantiasa bertawakkal padaNya. Celaka! Dalam waktu dekat anda mati, tersingkirkan dari rumah anda sendiri, harta anda yang kalian banggakan sama sekali tidak berguna dan tidak dikembalikan padamu
Langganan:
Postingan (Atom)
Benarkah Anda Mencintai Rasul?
Benarkah Anda Mencintai Rasul? Mengikuti Pengajian Syeikh Abdul Qadir al-Jilany 9 Jumadil Akhir 545 H, di Madrasahnya. Hadits Nabi s...
-
Kiat-kiat Sabar Pengajian Syeikh Abu Nashr as-Sarraj Syekh Abu Nashr as-Sarraj - rahimahullah -berkata: Kedudukan spiritual sabar ad...
-
Zikir dan Do'a Imam Ali bin Abi Tholib 1. Keselamatan memiliki sepuluh bagian, yang sembilan di antaranya terdapat dalam diam kecu...
-
Kecerdasan Hakiki Syeikh Ahmad Ar-Rifa'y Rasulullah SAW bersabda: "Orang yang cerdas adalah orang yang meneliti dirinya send...